Materi Kolokium 06 April 2017



ANALISIS MIKROBIOLOGI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) DARI KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

-Oleh Dhiya Lathifah-





Halooooo semuaaaa 😊😊😊
Apakabar? Semoga kalian sehat selalu yaaa amiiin 
Kali ini admin akan memberikan sedikit ulasan mengenai materi kolokium diawal april 2017.
dengan pemateri Dhiya Lathifah
yang berjudul
ANALISIS MIKROBIOLOGI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) DARI KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA 
Sebuah jurnal yang diterbitkan 
Oleh Jurnal Kedokteran Hewan  ISSN : 1978-225X, Vol. 8 No. 2, September 2014 oleh Widodo Suwito, Widagdo Sri Nugroho dan Wahyuni Bambang Sumiarto

Well, Semoga aja dengan membaca ini kalian akan memperoleh ilmu yang bermanfaat dan pesan admin disini untuk jadilah orang yang selalu haus akan ilmu pengetahuan!! okey??
Langsung aja deh ya, Happy Reading :)

Metode yang digunakan Penelitian ini menggunakan 50 sampel susu kambing yang diambil langsung dari ambing 25 ekor kambing PE yang sedang laktasi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pemeriksaan TPC, S. aureus, koliform, E. coli, dan Salmonella sp. dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 
  1. Koleksi Sampel. Koleksi sampel dilakukan pagi hari mengikuti petunjuk Hall dan Rycroft (2007). Kambing PE diposisikan dalam keadaan berdiri, kemudian puting dibersihkan dengan alkohol 70%. Sebanyak kurang lebih 20 ml susu kambing ditampung dalam botol plastik steril dan segera dimasukan ice box untuk dibawa ke laboratorium untuk diproses lebih lanjut. 
  2. Total Plate Count (TPC)
    Penghitungan TPC menggunakan metode (AOAC, 1996) dengan hitungan cawan. Sampel susu diambil 1 ml, kemudian diencerkan menggunakan buffer peptone water (BPW) (Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom) 0,1% sampai dengan pengenceran 10-6. Selanjutnya dari masing-masing pengenceran diambil 1 ml untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril, kemudian dituang media cair plate count agar (PCA) dan dihomogenkan dengan cara menggeserkan cawan horizontal atau membentuk angka delapan dan dibiarkan membeku. Tahap selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37 C selama 24-48 jam, dan semua koloni yang tumbuh dihitung sebagai TPC. 
  3. Penghitungan Jumlah S. aureus
    Penghitungan jumlah S. aureus menggunakan metode AOAC (1996). Sampel susu diambil 1 ml, kemudian diencerkan dengan BPW 0,1% sampai dengan pengenceran 10-6. Selanjutnya dari masing- masing enceran diambil 1 ml untuk dimasukkan cawan petri steril, kemudian dituang media cair vogel johson agar (VJA) yang sebelumnya sudah ditambah potassium tellurite 1%. Selanjutnya dihomogenkan dengan cara menggeser horizontal atau membentuk angka delapan, dan jika sudah membeku diinkubasikan pada suhu 37 C selama 24-48 jam. Koloni yang dihitung adalah berbentuk bulat, licin, berwarna abu- abu sampai hitam pekat yang dikelilingi oleh zona luar yang jelas.
  4. Penghitungan Jumlah Koliform Penghitungan jumlah koliform menggunakan metode AOAC (1996). Sampel susu diambil 1 ml, kemudian diencerkan dengan BPW 0,1% sampai dengan pengenceran 10-6. Selanjutnya dari masing- masing pengenceran diambil 1 ml untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril, kemudian dituang media cair violet red bile agar (VRBA) (Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom). Selanjutnya dihomogenkan dengan cara menggeser horizontal atau membentuk angka delapan dan dibiarkan sampai membeku, kemudian dituang kembali media VRBA di atas permukaan agar (overlay) dan setelah membeku diinkubasikan pada suhu 37 C selama 24-48 jam. Koloni yang dihitung adalah koloni yang berwarna merah keunguan yang dikelilingi oleh zona merah. 
  5. Pemeriksaan E. coli
    Pemeriksaan E. coli dilakukan dengan isolasi dan identifikasi mengikuti petunjuk Robert et al. (1995) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 5 ml sampel susu kambing ditambahkan dalam 25 ml larutan modifikasi tryptic soy broth (MTSB) (Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom) (1:10) kemudian diinkubasikan pada suhu 37 C selama 24 jam. Subkultur pada media sorbitol MacConkey agar (SMAC) (Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom) dan eosin methylene blue agar (EMBA) (Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom) dan diinkubasikan pada suhu 37 C selama 24 jam. Koloni yang tampak colourless pada media SMAC dan metalik dalam media EMBA dilakukan pewarnaan Gram, dan koloni tersebut diuji secara biokimiawi untuk identifikasi E. coli (Barrow dan Feltham,1993). 
  6. Pemeriksaan Salmonella sp.
    Pemeriksaan Salmonella sp. dilakukan dengan isolasi dan identifikasi mengikuti petunjuk Andrews dan Hammack (2001) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 5 ml susu dicampur dengan 50 ml larutan pre-enrichment BPW, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 C selama 24 jam. Sebanyak 5 ml biakan dari larutan pre-enrichment BPW ditambahkan dalam 100 ml larutan selective enrichment tetrathionate broth (TTB) yang sebelumnyalarutan kalium iodida
    diinkubasikan pada suhu
    Subkultur pada media xylose lysine deoxycholate agar (XLD) (Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom) dan diinkubasikan pada suhu 37 C selama 24 jam. Koloni yang tampak merah dengan tengah kehitaman pada media XLD dilakukan pewarnaan Gram, dan diuji secara biokimiawi untuk identifikasi Salmonella sp. lebih lanjut (Barrow dan Feltham, 1993). 

Hasil yang didaptkan adalah Rata-Rata TPC; jumlah S. aureus; dan koliform dari 50 sampel susu kambing yang diambil langsung dari ambing masing-masing adalah 1,65x103; 5,75x103; dan 1,3x10 cfu/ml seperti yang disajikan pada Tabel 1. Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk susu kambing saat ini belum tersedia, oleh karena itu digunakan SNI No 01-6366-2000 tentang persyaratan susu segar untuk sapi. 
Berdasarkan SNI No 01-6366-2000 maka untuk TPC dan koliform susu kambing masih memenuhi standar, sedangkan S. aureus melebihi standar. Hal yang sama juga terjadi apabila menggunakan standar dari negara lain (Tabel 1). Jumlah S. aureus yang 
sudah ditambah dengan (KI) 1%, kemudian 37 C selama 24 jam. 
melebihi standar dapat disebabkan karena pemerah tidak melakukan cuci tangan dengan sabun atau desinfektan, tidak memakai masker dan sarung tangan saat memerah sehingga dapat mengontaminasi susu yang dihasilkan (Alexopoulos et al., 2011). Penelitian Muehlherr et al. (2003) menunjukkan bahwa 31,7% dari 407 sampel susu kambing terkontaminasi S. aureus. Keadaan yang sama juga terjadi pada susu kambing yang akan dibuat keju di Italia dengan rerata S. aureus 1,2x103 cfu/ml atau telah melebihi standar (Foschino et al., 2002). Keadaan yang berbeda dilaporkan oleh Taufik et al. (2011), susu kambing dari Bogor yang diambil langsung dari ambing masih memenuhi standar SNI No 01-6366-2000 dengan rerata TPC; S. aureus; dan koliform masing-masing adalah 3,74x103; 1,70x103; dan 0,7x103 cfu/ml. Kualitas mikrobiologis susu kambing di Australia yang memenuhi standar dan layak dikonsumsi mempunyai rerata TPC; S. aureus; dan koliform masing-masing adalah 3,8x102; 1,4x102; dan 2,3x102 cfu/ml (Eglezos et al., 2008). Penentuan kualitas mikrobiologis susu kambing juga dapat dilakukan dengan melakukan uji mastitis. Susu kambing dengan skor uji mastitis positif 2 (++) dan 3 (+++) memiliki rerata TPC; S. aureus; dan koliform masih di bawah standar yang ditetapkan oleh SNI No 01-6366-2000 (Setiawan et al., 2013), sedangkan peningkatan jumlah sel somatik dapat terjadi pada kambing yang berumur tua tetapi tidak berhubungan dengan jenis bakteri yang menyebabkan mastitis (Hariharan et al., 2004). 
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang dapat dijumpai pada permukaan tangan, mukosa hidung, mulut, dan permukaan ambing dan puting. Kontaminasi S. aureus pada susu dapat membahayakan konsumen karena menghasilkan toksin yang tahan panas. Toksin dari S. aureus tahan pada suhu 110 C selama 30 menit (Alarcon et al., 2006). Kemampuan membentuk toksin ditentukan oleh jumlah S. aureus, oleh karena itu SNI No 01-6366-2000 membatasi jumlah S. aureus dalam susu ≤ 1x102 cfu/ml. Penelitian Tamarapau et al. (2001) menyatakan bahwa susu yang mempunyai jumlah S. aureus >106 cfu/ml, maka toksin sudah terbentuk walaupun tidak 
disertai dengan perubahan rasa dan sifat fisik. Kasus keracunan setelah minum susu sebagian besar disebabkan oleh toksin S. aureus yang sudah terbentuk sebelum susu dikonsumsi, sehingga kejadian keracunan setelah minum susu disebut dengan intoksikasi. Intoksikasi setelah minum susu karena S. aureus kebanyakan disebabkan oleh toksin tipe C, dan dalam konsentrasi 1 μg mampu menimbulkan gejala mual, muntah, dan kepala pusing (Tamarapau et al., 2001; Alarcon et al., 2006). 
Escherichia coli dan Salmonella sp. merupakan bakteri patogen yang dapat mengontaminasi susu kambing. Gejala keracunan yang disebabkan E. coli dan Salmonella sp. akan muncul setelah 1-2 hari setelah minum susu. Hal tersebut disebabkan oleh proses infeksi yang dimulai saat bakteri masuk dalam usus dan berkoloni sampai terbentuk toksin yang cukup untuk menimbulkan terjadinya diare, demam, dan kadang-kadang disertai dengan muntah. 
Hasil isolasi cemaran E. coli dan Salmonella sp. dari susu kambing disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 maka susu kambing dari Kabupaten Sleman tidak terkontaminasi E. coli dan Salmonella sp., sehingga aman dikonsumsi. Oliveira et al. (2011) menyatakan bahwa susu kambing dari Cariri negara bagian Brazilia terkontaminasi Salmonella enterica sebanyak 2,1%. Keberadaan E. coli dan Salmonella sp. dalam susu menyebabkan susu tidak aman untuk dikonsumsi. Hal tersebut sesuai dengan peryataan Heuvelink et al. (1998) bahwa E. coli dalam susu dapat membahayakan konsumen. Oleh karena itu minum susu dalam keadaan mentah sangat berbahaya, sehingga pasteurisasi atau direbus sebelum diminum merupakan alternatif untuk menghilangkan bakteri patogen. Escherichia coli dan Salmonella sp. akan mati pada suhu pasteurisasi tetapi efek kontaminasi silang lebih berbahaya, sehingga susu mentah yang terkontaminasi E. coli dan Salmonella sp. tidak aman dikonsumsi. 
Escherichia coli dan Salmonella sp. merupakan cemaran dalam susu yang berasal dari lingkungan sekitar kandang dan kotoran ternak. Kontaminasi E. coli dan Salmonella sp. akan lebih besar terjadi apabila kambing tidak dibersihkan saat diperah dan lingkungan kandang yang kotor. Selain kambing tidak dibersihkan saat diperah dan lingkungan kandang yang kotor, sumber air yang digunakan untuk mencuci ambing dapat sebagai sumber kontaminan (Suwito dan Andriani, 2012). 

Kesimpulannya adalah Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa susu kambing dari Kabupaten Sleman yang diambil langsung dari ambing masih layak dikonsumsi 



Jadi begitu hehehe
Semoga kalian mencermati isi konten materi tadi yaaa..
dan semangat terus untuk belajar :)

Sampai juga di postingan kami selanjutnya!

Comments