Deteksi Eksistensi DNA Epstein-Barr Virus (EBV) Pada Serum dan Saliva



DETEKSI EKSISTENSI DNA EPSTEIN-BARR VIRUS(EBV) PADA SERUM DAN SALIVA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING (KNF) DENGAN KUANTITATIF PCR 


Kolekium Oleh :

Yudhi Nugraha
Institute of Human Virology and Cancer Biology
 Magister Student, Faculty of Medicine, University of Indonesia
 Jl. Salemba Raya no.8 Jakarta Pusat
 email : yudhi.fkui@gmail.com


I. PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan karsinoma pada mukosa nasofaring yang berada di dinding lateral epitel nasofaring.

gambar 1 penggambaran letak nasofaring

Di sebagian  Provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan Guangzhou, dilaporkan sebanyak 10-15 kasus per 100.000 orang per tahun. Insiden tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Daerah Cina bagian selatan (Guangdong) masih menduduki tempat tertinggi dengan 2.500 kasus baru pertahun. Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia.

Faktor Penyebab Karsinoma Nasofaring :

 Gambar 2 skema faktor penyebab karsinoma nasofaring

1.      Multifaktor

Multifaktor terindikasi menyebabkan Karsinoma Nasofaring, diantaranya adalah Genetik ; ras mongoloid / China, Lingkungan, ikan asin dgn unsur nitrosamin yang tinggi, infeksi virus Epstein-Barr, alkohol, rokok, makanan dengan bahan pengawet, polusi udara.


2.     Kerentanan Genetik Polimorfisme 
Gen Polymeric Immunoglobulin Receptor (PIGR) Missense Mutation pada Gen PIGR menyebabkan kerentanan individu terhadap KNF pada populasi etnis Cina dan Thailand. Isoform PIGR terjadi karena  perubahan asam amino menyebabkan epitel nasofaring lebih mudah diinfeksi oleh EBV akibat terjadinya perubahan asam amino alanin menjadi valin. ini menyebabkan epitel nasofaring mudah diinfeksi oleh EBV.  Bentuk polimorfik gen PIGR (varian) ini dapat mengganggu efisiensi PIGR sehingga meningkatkan suseptibilitas individu terkena KNF pada populasi di daerah endemik.

3.     Faktor Lingkungan
Zat-zat karsinogen, antara lain zat yang berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin. Salah satu contohnya adalah dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat.

4.     Infeksi Virus
Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) telah terbukti konsisten dengan timbulnya KNF


 Gambar 3 Virus EBV

 Gambar 4 Struktur virus EBV

EBV dikenal sebagai human herpes virus 4 (HHV4) termasuk famili Herpesviridae, sub famili Gammaherpersvirus dan genus Lymphocryptovirus. Diperkirakan 95 persen populasi di dunia telah terpapar EBV. Pada umumnya infeksi EBV spesifik pada manusia. Walaupun dalam eksperimen EBV dapat menginfeksi beberapa jenis monyet.

Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan beberapa antigen virus yang spesifik untuk setiap periode infeksi. Infeksi laten EBV ditandai oleh ekspresi protein Epstein-Barr Virus Nuclear Antigen-1 (EBNA-1) dan EBNA-2, Membrane Protein Laten (LMP), dan Epstein Barr virus Encoded small RNAs (EBER). Protein-protein ini dapat mengadakan interaksi atau mempunyai homologi dengan berbagai protein tubuh seperti protein antiapoptosis, sitokin dan transduksi sinyal. Protein virus berperan dalam mempertahankan genom EBV pada sel B. Terdeteksi pada semua periode infeksi laten.8,10 Adanya DNA EBV di dalam serum yang berasal dari KNF mengindikasikan terdapat DNA virus dalam sirkulasi. Digunakan sebagai penanda awal dalam mendiagnosis KNF.

Gambar 5 Cara virus menginfeksi

B. Diagnosis KNF
Diagnosis KNF secara serologi dapat dilakukan dengan mendeteksi imunoglobulin A (IgA) terhadap  produk gen litik EBV di dalam serum, yaitu early antigen (EA) dan viral capsid antigen (VCA) yang meningkat di dalam serum. Uji serologis EBV berasosiasi dengan ditemukannya antibodi (Ig-A VCA) yang digunakan sebagai marka tumor untuk diagnosis awal penderita KNF. EBNA-1 pada serum dan tumor pasien KNF berasosiasi dengan KNF. Adanya DNA EBV dalam serum yang berasal dari KNF indikasikan DNA virus dalam sirkulasi. Dapat digunakan sebagai  penanda awal untuk  diagnosis KNF dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

C. qPCR
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali. Real time PCR mendeteksi amplicon pada fase eksponensial (saat awal reaksi, saat jumlah amplicon bertambah secara logaritmis sehingga dapat dihitung jumlah “awal”nya), sehingga dapat diperoleh hasil kuantitatif (hasil kuantitatif ini diperoleh dengan metode tertentu, misalkan menggunakan kurva standar). Hasil yang diperoleh juga langsung berupa angka/grafik, yg dengan program tertentu dapat langsung diolah untuk dianalisis. Selain itu, dengan pemilihan primer yang tepat, alat ini sangat sensitif.

D. Amplifikasi gen EBNA-1 menggunakan qPCR
DNA EBV dapat terdeteksi pada jaringan tumor dan cairan tubuh pasien KNF karena etiologi KNF dilaporkan konsisten dengan infeksi EBV. Terapi pada penderita KNF diharapkan efektif untuk mengeliminasi sel tumor dan EBV dari jaringan dan sirkulasi (plasma atau serum), sehingga memperkecil kemungkinan reaktivasi virus yang menginduksi tumbuhnya tumor baru (rekurensi). Kenyataannya rekuensi masih terjadi setelah terapi dihentikan. Keadaan ini mencerminkan adanya sisa tumor (residual desiase) yang tidak dapat dideteksi dengan computed tumography (CT) scan ataupun magnetic resonance imaging (MRI). Metode polymerase chain reaction (PCR) DNA EBV yang telah diisolasi dari serum dapat diaplikasikan pada penelitian yang berkaitan dengan regresi tumor atau menilai respon terhadap berbagai terapi.

II. PENUTUP

A. Kesimpulan
Infeksi EBV telah menjadi faktor utama etiologi KNF. Analisis DNA EBV dilakukan dengan teknik kuantitatif Polymerase chain reaction (qPCR) menggunakan primer gen EBNA1 yang merupakan salah satu protein virus yang penting untuk mempertahankan genom EBV dalam sel B dan berada pada semua periode infeksi.
 
Daftar Pustaka 

1. Barnes L, Everson JW, Reichart P, Sidransky D s: World Heath Oragnization Clasification of Tumours. Pathology and Genetics of Head and Neck Tumours. Lyon : IARC Press; 2005. P.85-97.

2.Yu Mc and Yuan J-M. Epidemilogy of Nasopharingeal Carcinoma. Sem Cancer Biol. 2001; 12: 421-29.

3. Chang ET and Adami H-O. The Enigmatic Epidemilogy Of nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2006; 15: 1765-1777.

4 . Hirunsatit R, Kongruttanachock N, shotelersuk K, Supiyaphun P, voravud N, Sakuntabhai A,  et al. Polimeric         immunoglobulin reseptor polimorpyisms and risk pf nasopharyngeal cancer. BMC Genetics 2003; 4: :1-9.

5. Roezin A. Berbagai faktor penyebab dan predisposisi karsinoma nasofaring. Maj Kedokteran Indonesia. 1999; 49(3): 85-88

6. Chang Y, Chang SS, Lee HH, Doong SL, Takada K, Tsai CH. Inhibition of Eipstein-Barr Virus lytic cycle by zta-targetted RNA interference.J Gen Virol. 2004; 85:371-1379.

7. Chan SH. Serology. In : Nasopharyngeal Carcinoma. Chong VFH and Taso SY, Editor. Singapore : Armon Publishing Pte, Ltd;1997. p. 24-8.

8. Thompson MP and Kurzrock R. Eipstein Barr virus and cancer. Clin Cancer Res. 2004; 10: 803-821.

9. Pathmanathan R, Prasad U, Sadler R, Flynn K, Raab-Traub N. Clonal proliferations of cells infected with Epstein Barr virus in pre-invasive lesions related to nasopharyngeal carcinoma. N Engl J Med 1995; 333:693-98.

10. Cohen JL. Eipstein-Barr Virus infection. N Engl J Med 2000; 343:481-489.

11. Mufty M. Application of a real-time qpcr method for detection of Salmonella spp. In shrimp and scallop and its partial Validation. Fisheries Training Programme. University of Akureyri. Iceland. 2008.

12. Krishna SM, James S, Kattoor J, Balaram P. Serum EBV DNA as Biomarker in Primary Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin. Jn J Clin Oncol 2004: 34: 307-311.

Comments